Agama dan Masyarakat

          Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang arti dan hakikat religi dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya para tasauf.

            Bukti di atas sampai pada pendapat bahwa agamamerupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu dengan masyarakat seharusnyalah tidak bersifat antagonis.

            Membicarakan peranan agama dalam kehidupan sosial menyangkut dua hal yang sudah tentu hubungannya erat, memiliki aspek-aspek yang terpelihara. Yaitu pengaruh dari cita-cita agama dan etika agama dalam kehidupan individu dari kelas sosial dan grup sosial, perseorangan dan kolektivitas, dan mencakup kebiasaan dan cara semua unsure asing agama diwarnainya. Yang lainnya juga menyangkut organisasi dan fungsi dari lembaga agama sehingga agama dan masyarkat itu berwujud kolektivitas ekspresi nilai-nilai kemanusiaan.

 

Fungsi Agama

          Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai, bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka normanya pun dikukuhkan dengan sanksi-sanksi sakral. Dalam setiap masyarakat sanksi sakral mempunyai kekuatan memaksa istimewa, karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi dan supramanusiawi dan ukhrowi.

            Fungsi agama di bidang sosial adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik di antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka.

            Fungsi agama sebagai sosialisasi individu ialah individu, pada saat dia tumbuh menjadi dewasa, memerlukan suatu system nilai sebagai semacam tuntutan umum untuk (mengarahkan) aktivitasnya dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua di mana pun tidak menabagaikan upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya.

            Masalah fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen agama, dimensi komitmen agama, menurut Roland Robertson (1984), diklarifikasikan berupa keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi.

a.                  Dimensi keyakinan mengandung perkiraan atau harapan bahwa orang yang religious akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran agama.

b.                  Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata. Ini menyangkut, pertama, ritual, yaitu berkatian dengan seperangkat upacara kegamaan, perbuatan religious fomal, dan perbuatan mulia. Kedua, berbakti tidak bersifat fomal dan tidak bersifat public serta relative spontan.

c.                  Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religious pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan, meskipun singkat, dengan suatu perantara yang supernatural.

d.                 Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua orang-orang yang bersikap religious akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.

e.                  Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda denga tingkah laku perseoangan dan pembentukan citra pribadinya.

 

Pelembagaan Agama

          Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meksipun tidak menggambarakan sebenarnya secara utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954).

a.                   Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral

Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya :

 

1)        Agama memasukkan perngaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat secara mutlak.

2)        Dalam keadaan lembaga lain selain keluarga relative belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini nilai-nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan.

 

b.                  Masyarakat-masyarakat Praindustri yang sedang berkembang.

                        Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat ini, tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang secular itu sedikit banyaknya masih dapat dibedakan. Fase-fase kehidupan sosial diisi dukungan sempuran terhadap aktivitas sehari-hari; agama hanya memberikan dukungan terhadap adat-istiadat, dan terkadang merupakan suatu sistem tingkah laku tandingan terhadap sistem yang telah disahkan. Nilai-nilai keagamaan adalam masyarakat menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian kaitan agama dengan masyarakat.

 

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Buku MCI: If You Know What Happened in MCI

Pengalaman Organisasi

Keterbatasan UU No. 36 Telekomunikasi dalam Mengatur Keamanan Berkomunikasi